Aku dan Kamu: Setelah Fase Bernama Perpisahan


Tadinya aku ingin membiarkan kertas ini kosong begitu saja. Sama seperti perasaanku yang tiba-tiba saja kosong karena kamu mendadak pergi. Untuk beberapa alasan, kamu telah berhasil membuatku merasa tak berharga: bahkan untuk sebuah penjelasan. Oleh karena itu, aku akan menumpahkan isi kepalaku pada kertas ini. Berharap kamu akan membacanya dan kembali berkata “Ah, aku suka sekali membaca tulisanmu tentang kita.” Tapi tentu saja hal itu tak mungkin terjadi. Sebab kamu tak akan suka dengan apa yang akan aku tulis.

Aku telah begitu jatuh kepadamu, sampai aku lupa bagaimana caranya bangkit dan menggunakan kedua kakiku sendiri. Aku telah begitu dalam mencintaimu, sampai aku lupa bagaimana mencintai tubuh dan jiwaku sendiri. Aku pikir cerita kita akan berjalan lebih lama, meski kita sama-sama mengerti bahwa kita akan berpisah pada akhirnya. Setidaknya aku ingin menghabiskan sisa waktuku di kota ini bersamamu, bahkan melanjutkan  studi lagi di kota ini jika itu artinya aku dapat lebih lama bersamamu.

Kamu pernah berkata bahwa kamu begitu ingin menua bersamaku, dan bahkan ingin menikahiku. Sayang, aku tahu itu konyol dan tak mungkin. Tapi tetap saja aku tersipu dan hampir gila setiap kali membayangkannya. Kamu sangat pintar membuatku semakin jatuh cinta. Kekasihku, kamu yang sangat manis di awal cerita kita, kamu yang begitu membuatku mabuk di pertengahan cerita, tapi kamu yang juga membuatku hampir kehilangan kewarasan di akhir cerita.

Menuju akhir cerita, entah mengapa kamu seakan enggan menghabiskan waktu bersamaku lagi. Kamu seperti sedang menyembunyikan sesuatu, atau kamu hanya tak ingin bertemu saja denganku. Hingga saat ini pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku. Aku sungguh ingin tahu apa yang membuatmu tiba-tiba saja berkata bahwa kamu lelah dan ingin mengakhiri hubungan yang telah kita mulai. Padahal aku sangat ingin kamu bagi rasa lelahmu, aku ingin kamu bagi rasa sedihmu, aku sungguh ingin kamu bagi rasa sakitmu. Mari kita bagi dua segala hal yang manis maupun pahit, hingga semua terasa lebih baik-baik saja. Tapi kamu tak pernah mau membaginya, kamu  menutup rapat dan menyimpannya seorang diri seakan aku tak akan kuat jika harus ikut menanggung rasa sedihmu.

Setelahnya aku merasa kamu sungguh brengsek. Sebab membuatku merasa sangat tak berarti, bahkan untuk sebuah penjelasan. Lalu aku mengiyakan ajakan untuk berpisah, melupakan semua janji yang telah kita buat pada permulaan cerita, menghapus semua daftar keinginan yang belum sempat terlaksana, meski berat aku tetap harus melakukannya.

Segala hal terasa tak begitu berat pada awalnya, hanya terasa kosong. Lalu dengan keparat kamu kembali datang menyapa. Aku tiba-tiba saja lemah dan ingin mengutuk diri sendiri. Aku tak dapat memungkiri bahwa aku masih begitu merindukanmu. Aku masih merindukanmu. Selama ini aku hanya bersikap bahwa aku baik-baik saja tanpamu. Nyatanya aku goyah ketika kamu datang bahkan bukan dengan niatan mengajakku kembali. Aku hanya begitu kesepian dan merindukanmu. Aku tidak baik-baik saja tanpamu saat ini. Tapi aku akan kembali baik, tenang saja.

Komentar

Postingan Populer